Setelah disorot dan banyak diprotes berbagai pihak karena keberadaanya dalam penanganan demonstrasi penolakan kenaikan harga BBM bulan Maret lalu. Kini keberadaan TNI kembali menjadi sorotan terkait dengan terbukanya peran serta TNI untuk menangani ketertiban dan keamanan yang terganggu karena konflik sosial di suatu daerah. Dalam RUU tentang Penanganan Konflik Sosial (RUU PKS), TNI setidaknya disebutkan pada Bab IV mengenai penghentian konflik pasal 12 point (d) bahwasanya dalam penghentian konflik dapat dilakukan melalui bantuan sumber daya TNI. Berbagai pandangan mengenai pasal ini bermunculan, sebagian besar pandangan tersebut mengkritisi mengenai keterlibatan TNI dalam penanganan konflik sosial. Tampaknya trauma akan kewenangan TNI pada zaman orde baru, dibawah rezim Presiden Soeharto menjadi momok menakutkan tersendiri.
Dimana TNI yang pada saat itu bernama ABRI memiliki kewenangan dalam segala bidang baik yang bersifat penanganan dalam bidang pertahanan maupun non-pertahanan. Namun, peran yang disebut sebagai dwi fungsi TNI tersebut sudah ditutup dan dihilangkan semenjak jatuhnya rezim orde baru, dan dijalankannya reformasi di negara ini.
Kekhawatiran tersebut menyebabkan masyarakat menjadi ‘alergi’ dengan kemunculan dan keterlibatan TNI dalam menangani permasalahan non-pertahanan. Termasuk ke dalam penanganan konflik sosial yang pada dasarnya dapat mengancam keamanan dan ketahanan nasional. Kewenangan TNI yang diatur dalam RUU PKS dikhawatirkan dapat menimbulkan pelanggaran HAM terhadap masyarakat.
Dimasukkanya TNI ke dalam unsur lembaga yang dapat turut serta dalam penanganan konflik sosial pada dasarnya sudah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, ketakutan akan adanya penyalahgunaan kewenangan oleh TNI, tentunya sangat kecil kemungkinan terjadinya, karena dalam perundang-undangan yang berlaku, perbantuan TNI tidak dapat serta merta dilakukan begitu saja. Banyak tahapan yang harus dilakukan pemerintah untuk melibatkan TNI dalam penanganan masalah non-pertahanan termasuk konflik sosial.
Pertama, TNI tidak dapat melangkahi dan mengambil alih, tugas dan kewenangan POLRI dalam menangani konflik sosial. Dalam RUU PKS, TNI tidak memiliki kewenangan utama, karena yang berwenang untuk menangani konflik sosial terutama yang akan berhadapan langsung dengan masyarakat dalam upaya penghentian kekerasan adalah POLRI.
Hal ini seperti yang dituangkan dalam RUU PKS pasal 13 ayat (1) dan (2) dimana POLRI menjadi Koordinator utama dalam menyelesaikan kekerasan fisik yang terjadi ditengah masyarakat akibat adanya konflik sosial. Dalam upaya menghentikan kekerasan fisik POLRI dapat dibantu oleh tokoh masyarakat, tokoh agama dan tokoh adat. Dalam pasal ini jelas tidak ada dan tidak disebutkan keterlibatan TNI.
Kedua, TNI dapat diperbantukan apabila keadaan konflik sosial meningkat menjadi status keadaan konflik yang diakibatkan oleh konflik sosial yang terjadi, tidak dapat dihentikan oleh POLRI dan tidak berjalannya fungsi pemerintah, seperti yang dituangkan dalam RUU PKS pasal 16.
Pernyataan status keadaan konflik sosial dapat dikeluarkan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah Presiden apabila konflik sosial dalam lingkup nasional, oleh Gubernur apabila konflik sosial dalam lingkup provinsi, dan oleh Bupati/Walikota apabila status keadaan konflik dalam lingkup kabupaten/kotamadya. Penetapan status tersebut tidak dapat begitu saja dikeluarkan oleh pemerintah, namun diperlukan persetujuan dari DPR dalam lingkup nasional, DPRD provinsi dalam lingkup provinsi dan DPRD kabupaten/Kotamadya dalam lingkup Kabupaten/Kotamadya. Berdasarkan kepada RUU PKS pasal 18-20.
Dari proses penentuan keadaan konflik seperti di atas saja memerlukan waktu dan tentunya akan membutuhkan pertimbangan yang sangat besar dari berbagai pihak baik pemerintah maupun rakyat yang diwakilkan DPR. Sehingga, masuknya TNI ke dalam penanganan konflik sosial akan berdasarkan kepada pertimbangan yang sangat dalam.
Ketiga, perbantuan TNI dalam menangani konflik sosial harus berdasarkan kepada permintaan dari POLRI. Hal ini tertuang dalam RUU PKS pasal 30, dimana pemerintah dalam hal ini Gubernur,bupati/walikota dapat meminta bantuan sumber daya TNI berdasarkan kepada usulan dari kepolisian setempat.
POLRI tentunya akan meminta perbantuan TNI apabila memang keadaan dan situasi konflik sudah tidak dapat ditangani. Permohonan perbantuan POLRI terhadap TNI diatur dalam UU No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pasal 41, yang menyatakan dalam melaksanakan tugas keamanan POLRI dapat meminta bantuan terhadap TNI yang diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.
Selain itu UU No. 23 Tahun 2004 tentang TNI pasal 7 ayat (2), mengenai operasi militer selain perang yang diemban TNI yaitu membantu POLRI dalam rangka tugas keamanan dan ketertiban masyarakat, memperkuat diperbolehkannya TNI membantu POLRI dalam menangani tugas non-pertahanan.
Peran serta TNI dalam operasi militer selain perang yang dimaksud dalam pasal di atas diperkuat sebagai kebijakan dalam mempertahankan negara. Seperti yang dituangkan dalam UU No. 3 Tahun 2002 Pasal 10 ayat 3. Dalam pasal ini dinyatakan TNI bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara salah satunya adalah melaksanakan operasi militer bukan perang.
Secara konstitusi keterlibatan TNI dalam menangani permasalahan keamanan dan ketertiban masyarakat pada dasarnya diperbolehkan. Namun, terdapat beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum TNI dilibatkan, seperti pembahasan di atas.
Pelibatan TNI dalam menangani permasalahan non-pertahanan, dapat ditangguhkan apabila POLRI mampu menangani konflik sosial yang terjadi, dan pemerintah tidak menyatakan status keadaan konflik. Permohonan bantuan kepada TNI merupakan opsi terakhir yang dapat diambil dalam penanganan konflik sosial.
RUU PKS saat ini masih perlu dikritisi, salah satunya adalah apabila memang TNI dilibatkan dalam penanganan konflik sosial, maka perlu diperjelas tugas dari TNI. Apakah mengambil alih tugas POLRI, apakah hanya sekedar membantu pelucutan senjata dan peralatan bahaya lainnya, apakah turut serta dalam proses mendamaikan kedua belah pihak, apakah hanya sekedar membantu rehabilitasi korban, atau hanya sekedar mengamankan objek-objek vital baik milik pemerintah maupun swasta?
Ketegasan penentuan tugas dalam RUU PKS bagi TNI sangat diperlukan sebagai jawaban akan kekhawatiran masyarakat. Sehingga, TNI tidak dapat bertindak sewenang-wenang, dan keluar dari tugasnya dalam penanganan konflik sosial sesuai dengan yang diatur dalam undang-undang.
Selain itu tindakan DPR merubah pasal 30, yang menyatakan bahwa Gubernur (dalam hal ini pemerintah) dapat meminta bantuan kepada TNI berdasarkan usulan dari kepolisian setempat, diperketat dengan keharusan adanya persetujuan dari DPR. Sehingga, UU PKS ini tidak akan bisa diselewengkan oleh pemerintah sebagai acuan pengerahan TNI apabila terjadi konflik sosial.
Apabila pasal tersebut tidak diubah maka dikhawatirkan akan menimbulkan penyelewengan kekuasaan. Apabila di daerah terjadi konflik sosial yang ditimbulkan kedua kubu dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), maka Gubernur/pemerintah tidak akan dapat menggunakan kekuatan TNI seenaknya untuk meredam konflik tersebut, atau menekan lawan politiknya.
Dengan disahkannya UU PKS maka diharapkan segala konflik yang terjadi di Indonesia, baik yang berisu SARA maupun lainnya dapat diselaikan dengan baik, bahkan dapat dicegah sebelum terjadinya pertikaian secara fisik.
0 komentar:
Posting Komentar